Senin, 29 Mei 2017

Tobat dan Warak



IDENTITAS
Nama                           : AULIA FARIHANUM
NIM                             : 0705163068
Prodi/Sem                    : FISIKA/II
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu         : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                 : Akhlak Tasawuf

TEMA : Tobat, Warak
Buku 1             : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku
Penulis             : Dr. Ja’far, M.A
Penerbit           : Perdana Publishing
Bab 1               : Tobat (al-taubah)
Bab 2               : Warak (wara’)
Bab 3               : Zuhud (al-zuhd)

A.       Tobat (al-taubah)
Menurut Ja’far (2016: 57), dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan”. Maqam tobat (al-taubah) merupakan maqam pertama yang harus dilewati setiap salik dan diraih dengan menjalankan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Istilah tobat berasal dari bahasa Arab, taba, yatubu, tabatan, yang berarti kembali, dan disebut oleh Al-Quran sebanyak 87 kali dala, berbagai bentuk. Istilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari dosa seseorang untuk mencari pengampunan-Nya, dan istilah ini telah dijelaskan oleh para sufi dalam karya-karya mereka. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga, yaitu :
       1.  Tobat kaum awam (al-‘amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunubi);
       2.  Tobat orang terpilih (al-khash) yakni tobat dari kelupannya (al-ghaflah); dan
       3. Tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencari apa yang   telah dicapai orang lain.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat: penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan ketidakberdayaan. Hakikat tobat adalah menyesalai semua dosa di masa lampau, membebaskan diri dari semua dosa, dan tidak mengulangi disa di masa mendatang; serta kembali kepada Allah dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa, dan tidak akan mungkin mengenal macam-macam dosa, sedangkan hukum mengetahui macam-macam dosa adalah wajib. (Ja’far: 2016, 60).

B.       Waral (wara’)
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna “patuh dan taat kepada Allah”. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa “wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat”. Ibrahim bin Adam berkata, “wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat. Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni :
      1.      Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri.
2.      Memperbanyak kebaikan dan menjaga iman, melepaskan diri dari kehinaan dan menjaga diri agar tidak melampaui hukum.
      3.      Menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan. (Ja’far: 2016, 62).


Buku 2             : Akhlak Tasawuf (Buku Pendamping)
Identitas Buku
Penulis                         : Prof. Dr. H. Amril, M.A.
Penerbit           : PT.Refika Aditama
Bab 1               : Al-Taubah
Bab 2               : Al-Wara’
Bab 3               : Al-Zuhud
A.       Al-Taubah
       Menurut Amril (2015: 71 ), merujuk kamus bahasa Arab, kata al-taubah berasal dari kata taba, yaktubu, taubatan, yang berarti raja’ (kembali) dan nadam (menyesal). Dalam istilah tasawuf, kata taubat dimaknai sebagai upaya memohon ampunan atas segala kesalahn dan dosa yang dilakkan dengan penuh kesadaran dan sungguh-sungguh seraya berjanji tidak akan pernah lagi melakukan segala bentuk tindakan dosa yang sama dan senantiasa membuktikan bahwa dirinya selalu menghindar dari perbuatan-perbuatan tidak baik dan senantiasa memelihara dirinya dari dosa serta kesalahan-kesalahn dengan selalu berbuat kebaikan dan kebajikan secara ikhlas dan semata-mata mengharap ridha Allah Swt.
Menurut seorang sufi, taubat merupakan suatu tekad untuk tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi. Oleh karena itu, taubat bagi kaum sufi dilakukan tidak hanya satu kali, tetapi terus-menerus dilakukan agar diri benar-benar terjaga berbagai kesalahan dan dosa sehingga dirinya benar-benar terlepas dari noda dan dosa yang akan merusak kesucian diri yang akan menggangu hubungannya dengan Tuhan Pencipta. Bagi kamu sufi, al-taubah adalah lambing kedekatan diri dan kecintaan yang dalam kepada Allah Swt. sehingga eksistentinya akan selalu menyelimuti kehidupan sufi agar dirinya tetap terpelihara dan cenderung pada kebaikan serta kebajikan yang sesungguhnya. (Amril: 2015,71 )
Tindakan dalam al-taubah merupakan tindakan yang sangat terkait dengan istighfar, yaitu suatu ungkapan permintaan ampunan kepada Allah Swt. atas segala sesuatu yang bernilai tidak baik atau fujur. Oleh karena itu, membiasakan diri dengan beristighfar merupakan suatu kemsetian agar manusia senantiasa berada pada kesucian hati dan terhindar dari segala sesuatu yang bersifat dosa. Taubat dan istighfar merupakan ranjau pemagar diri manusia agar selalu ingat, bahwa dirinya tidak boleh berbuat salah dan dosa. Hanya dengan cara demikan dirinya akan selalu dekat dengan Allah yag Maha Qudus.


B.       Al-Wara’
Secara harfiah, kata wara’ berarti shaleh, menjauhkan diri dari segala tindakannya yang berbau tidak baik atau dosa. Al-Wara’ bagi kaum sufi dimaknai sebagai suatu tindakan manusia yang selalu menjauhi perilaku-perilaku yang di dalamnya terdapat syubhat; yakni sesuatu yang mengandung keragu-raguan antara halal dan haram. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku al-Wara’ sufi ini akan terlihat dari perilaku mereka yang tidak bersedia makan dan minum sembarangan tempat, tidak jelas halal dan haramnya, serta tidak tahu sumbernya. Oleh karena itu, para sufi sangat berhati-hati dalam memilih dan menentukan jenis makanan yang akan dimakannya agar hati tidak menjadi gelap dank eras sehingga sulit untuk bisa dekatt dengan Tuhan Maha Pencipta. (Amril: 2015,74).
Dengan demikian, perilaku al-wara’ meniscayakan seseorang untuk selalu berhati-hati dalam pencarian nafkah dan pendirian fasilitas kebutuhan dasarnya, seperti pangan dan sandang. Sikap kehati-hatian ini memungkinkan terhindar dari sifat-sifat rakus, iri, dan sebagai yang pada akhirnya terhindar dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum agama. Sikap seperti ini juga membawa konsekuensi dalam bentuk munculnya hasrat yang besar untuk menaati perintah Allah Swt. dalam semua perbuatan. Menjadi hamba yang bersikap seperti ini niscaya akan selalu dekat dengan Allah Swt.



Kesimpulan
Kesimpulan yang saya dapat pada buku 2 ini adalah bahwa kita sebagai hamba Allah Swt. harus menjalankan perilaku-perilaku yang disukai-Nya dan menjauhi yang tidak disukai-Nya misalnya saja al-taubah, al-wara’, dan al-zuhud. Dimana kita menerapkan perilaku-perilaku terpuji ini pada kehidupan sehari-hari.

Perbandingan
Pada buku 1 ini, terdapat beberapa pendapat sufi yang menjelaskan apa itu tobat, warak, dan zuhud serta asal atau dari bahasa mana pengertian-pengertian perilaku terpuji tersebut di ambil. Serta penerapannya kita sebagai di dalam kehidupan sehari-hari agar bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi.
Pada buku 2, penjelasan mengenai al-taubah, al-wara’ dan al-zuhud banyak penjelasan oleh beberapa sufi yang berbeda dan arti atau pengertian yang berbeda tetapi maknanya sama dan lebih banyak membuat contoh di kehidupan dunia dan cara menjaga perilaku tersebut tetap kita laksanakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar