IDENTITAS
NIM
: 0705163068
Prodi/Sem
: FISIKA/II
Fakultas
: Sains Dan Teknologi
Perguruan
Tinggi : Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen
Pengampu : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah
: Akhlak Tasawuf
TEMA : Tobat, Warak
Buku 1 : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku
Penulis : Dr. Ja’far, M.A
Penerbit : Perdana
Publishing
Bab 1 : Tobat (al-taubah)
Bab 2 : Warak (wara’)
Bab 3 : Zuhud (al-zuhd)
A.
Tobat (al-taubah)
Menurut Ja’far (2016: 57), dalam bahasa Indonesia, tobat bermakna “sadar
dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan
memperbaiki tingkah laku dan perbuatan”. Maqam
tobat (al-taubah) merupakan maqam pertama yang harus dilewati setiap
salik dan diraih dengan menjalankan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Istilah tobat berasal dari
bahasa Arab, taba, yatubu, tabatan, yang
berarti kembali, dan disebut oleh Al-Quran sebanyak 87 kali dala, berbagai
bentuk. Istilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari
dosa seseorang untuk mencari pengampunan-Nya, dan istilah ini telah dijelaskan
oleh para sufi dalam karya-karya mereka. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa
tobat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Tobat kaum awam (al-‘amm) yakni
tobat dari dosanya (taubah min
al-zunubi);
2. Tobat orang terpilih (al-khash) yakni
tobat dari kelupannya (al-ghaflah); dan
3. Tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk
mencari apa yang telah dicapai orang lain.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat: penyesalan,
meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan
ketidakberdayaan. Hakikat tobat adalah menyesalai semua dosa di masa lampau,
membebaskan diri dari semua dosa, dan tidak mengulangi disa di masa mendatang;
serta kembali kepada Allah dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa, dan
tidak akan mungkin mengenal macam-macam dosa, sedangkan hukum mengetahui
macam-macam dosa adalah wajib. (Ja’far: 2016, 60).
B. Waral (wara’)
Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a,
yari’u, wara’an yang bermakna “patuh dan taat kepada Allah”. Al-Qusyairi
menjelaskan bahwa “wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syubhat”. Ibrahim
bin Adam berkata, “wara’ adalah
meninggalkan hal-hal yang syubhat dan segala hal yang tidak pasti yakni
meninggalkan hal-hal yang tidak berfaedah. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah,
warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat.
Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni :
1. Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri.
2.
Memperbanyak kebaikan dan menjaga iman, melepaskan diri dari kehinaan dan
menjaga diri agar tidak melampaui hukum.
3. Menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada
perpecahan. (Ja’far: 2016, 62).
Buku 2 : Akhlak Tasawuf
(Buku Pendamping)
Identitas Buku
Penulis :
Prof. Dr. H. Amril, M.A.
Penerbit : PT.Refika Aditama
Bab 1 : Al-Taubah
Bab 2 : Al-Wara’
Bab 3 : Al-Zuhud
A.
Al-Taubah
Menurut Amril (2015: 71 ),
merujuk kamus bahasa Arab, kata al-taubah
berasal dari kata taba, yaktubu,
taubatan, yang berarti raja’ (kembali)
dan nadam (menyesal). Dalam istilah
tasawuf, kata taubat dimaknai sebagai
upaya memohon ampunan atas segala kesalahn dan dosa yang dilakkan dengan penuh
kesadaran dan sungguh-sungguh seraya berjanji tidak akan pernah lagi melakukan
segala bentuk tindakan dosa yang sama dan senantiasa membuktikan bahwa dirinya
selalu menghindar dari perbuatan-perbuatan tidak baik dan senantiasa memelihara
dirinya dari dosa serta kesalahan-kesalahn dengan selalu berbuat kebaikan dan
kebajikan secara ikhlas dan semata-mata mengharap ridha Allah Swt.
Menurut seorang sufi, taubat merupakan suatu tekad untuk tidak berbuat
kesalahan-kesalahan lagi. Oleh karena itu, taubat bagi kaum sufi dilakukan
tidak hanya satu kali, tetapi terus-menerus dilakukan agar diri benar-benar
terjaga berbagai kesalahan dan dosa sehingga dirinya benar-benar terlepas dari
noda dan dosa yang akan merusak kesucian diri yang akan menggangu hubungannya
dengan Tuhan Pencipta. Bagi kamu sufi, al-taubah
adalah lambing kedekatan diri dan kecintaan yang dalam kepada Allah Swt.
sehingga eksistentinya akan selalu menyelimuti kehidupan sufi agar dirinya
tetap terpelihara dan cenderung pada kebaikan serta kebajikan yang
sesungguhnya. (Amril: 2015,71 )
Tindakan dalam al-taubah merupakan
tindakan yang sangat terkait dengan istighfar,
yaitu suatu ungkapan permintaan ampunan kepada Allah Swt. atas segala
sesuatu yang bernilai tidak baik atau fujur.
Oleh karena itu, membiasakan diri dengan beristighfar merupakan suatu
kemsetian agar manusia senantiasa berada pada kesucian hati dan terhindar dari
segala sesuatu yang bersifat dosa. Taubat dan istighfar merupakan ranjau pemagar diri manusia agar selalu ingat,
bahwa dirinya tidak boleh berbuat salah dan dosa. Hanya dengan cara demikan
dirinya akan selalu dekat dengan Allah yag Maha Qudus.
B. Al-Wara’
Secara harfiah, kata wara’ berarti
shaleh, menjauhkan diri dari segala tindakannya yang berbau tidak baik atau
dosa. Al-Wara’ bagi kaum sufi
dimaknai sebagai suatu tindakan manusia yang selalu menjauhi perilaku-perilaku
yang di dalamnya terdapat syubhat; yakni sesuatu yang mengandung keragu-raguan
antara halal dan haram. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku al-Wara’ sufi ini akan terlihat dari
perilaku mereka yang tidak bersedia makan dan minum sembarangan tempat, tidak
jelas halal dan haramnya, serta tidak tahu sumbernya. Oleh karena itu, para
sufi sangat berhati-hati dalam memilih dan menentukan jenis makanan yang akan
dimakannya agar hati tidak menjadi gelap dank eras sehingga sulit untuk bisa
dekatt dengan Tuhan Maha Pencipta. (Amril: 2015,74).
Dengan demikian, perilaku al-wara’ meniscayakan
seseorang untuk selalu berhati-hati dalam pencarian nafkah dan pendirian
fasilitas kebutuhan dasarnya, seperti pangan dan sandang. Sikap kehati-hatian
ini memungkinkan terhindar dari sifat-sifat rakus, iri, dan sebagai yang pada
akhirnya terhindar dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum agama.
Sikap seperti ini juga membawa konsekuensi dalam bentuk munculnya hasrat yang
besar untuk menaati perintah Allah Swt. dalam semua perbuatan. Menjadi hamba
yang bersikap seperti ini niscaya akan selalu dekat dengan Allah Swt.
Kesimpulan
Kesimpulan yang saya dapat pada buku 2 ini adalah bahwa kita sebagai hamba
Allah Swt. harus menjalankan perilaku-perilaku yang disukai-Nya dan menjauhi
yang tidak disukai-Nya misalnya saja al-taubah, al-wara’, dan al-zuhud. Dimana
kita menerapkan perilaku-perilaku terpuji ini pada kehidupan sehari-hari.
Perbandingan
Pada buku 1 ini, terdapat beberapa pendapat sufi yang menjelaskan apa itu
tobat, warak, dan zuhud serta asal atau dari bahasa mana pengertian-pengertian
perilaku terpuji tersebut di ambil. Serta penerapannya kita sebagai di dalam
kehidupan sehari-hari agar bisa menjadi hamba Allah yang lebih baik lagi.
Pada buku 2, penjelasan mengenai al-taubah, al-wara’ dan al-zuhud banyak
penjelasan oleh beberapa sufi yang berbeda dan arti atau pengertian yang
berbeda tetapi maknanya sama dan lebih banyak membuat contoh di kehidupan dunia
dan cara menjaga perilaku tersebut tetap kita laksanakan.