IDENTITAS
NIM
: 0705163068
Prodi/Sem
: FISIKA/II
Fakultas
: Sains Dan
Teknologi
Perguruan Tinggi : Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen
Pengampu : Dr. Ja’far,
MA.
Mata Kuliah
: Akhlak
Tasawuf
TEMA
: Al-Maqamat
dan Al-Ahwal
BUKU
1
: Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku
: Ja’far, (Medan: Perdana
Publishing, 2016)
Sub 1 : Definisi
Sub 2 : Pondasi al-Maqamat
Sub 3 : Hierarki al-Maqamat
Kesimpulan
- Definisi
Pengertian
Maqamat
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang
berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya
digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk berada dekat kepada Allah. Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal
dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat
berarti keddudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah
diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.
Menurut
Ja’far (48:2016), karya-karya sufi telah menunjukkan bahwa tasawuf sebagai
disiplin ilmu dirancang sebagai media informasi bagi manusia untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Sebab itu, para sufi menyusun teori mengenai usaha-usaha
untuk menempuh perjalanan spiritual (thariqah) berupa tangga-tangga
pendakian spiritual yang disebut al-maqamat. Hakikat al-maqamat
biasanya juga diiringi kajian tentang ahwal, sebab keduanya tidak bisa
dibahas secara terpisah. Dalam kitab al-Luma’, al-Thusi menjelaskan
bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan Allah SWT.
Sedangkan al-ahwal adalah keadaan hati (qalb) seorang sufi
sebagai akibat dari kemurnian zikirnya.
Dalam Risalah
al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat adalah
tingkatan spiritual yang akan diraih salik dengan jalan mujahadah dan
mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadhah.
Menurutnya, seorang salik tidak akan dapat menaiki maqam selanjutnya
sebelum berhasil menjalani dan memperoleh maqam sebelumnya.
Al-Qusyairi
menjelaskan perbedaan al-ahwal dengan al-maqamat : “Al-hal
menurut kaum (sufi) adalah makna yang hadir dalam hati tanpa unsur kesengajaan,
upaya, latihan, dan pemaksaan seperti gembira, sedih, lapang, sempit, rindu,
gelisah, takut, dan gemetar. Al-hal merupakan pemberian, sedangkan
al-maqamat merupakan hasil usaha. Al-hal datang dari Allah ke dalam jiwanya
(sufi), sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha dengan mujahadah secara
terus menerus. Pemilik al-maqam memungkinkan dapat menduduki al-maqam secara
tetap, sedangkan pemilik al-hal sering mengalami naik turun sesuai keadaan hatinya.”
Al-ahwal merupakan pemberian Allah Swt. Kepada salik yang sedang
menjalani beragam ibadah untuk menapaki satu persatu maqam dari yang
awal sampai yang paling akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual
yang mungkin dicapai seorang sufi.
- Pondasi
al-Maqamat
Dalam
memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan berbagai bentuk
ibadah, mujahadah, dan riyadhah, seorang salik harus
melakukan khalwah dan ‘uzlah dalam melaksanakan perjalanan
spiritual menuju Allah Swt. Dalam Risalah al-Qusyairiyah, al-Qusyairi
menjelaskan bahwa menyepi (khalwah) adalah sifat ahli sufi, dan
mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung
dengan Allah Swt.
Khalwah (menyepi) adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan
hubungan dengan al-Haqq. Sedangkan hakikat ‘uzlah (mengasingkan
diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk orang lain. Dalam Ihya’
‘Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan bahwa praktik mengasingkan diri memiliki
banyak manfaat bagi seorang penempuh ilmu jalan spiritual. Pertama,
dapat mengosongkan dirinya hanya dengan beribadah kepada Allah Swt. Kedua,
dapat melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang biasa dilakukan dan
dihadapi manusia selama hidup bermasyarakat seperti mengumpat, adu domba, dan
pamer. Ketiga, membebaskan diri dari kejahatan-kejahatan manusia. Keempat,
memutuskan diri dari kerakusan manusia dan kerakusan terhadap dunia. Kelima,
membebaskan diri dari penyaksian atas orang-orang yang berperangai buruk dan
bodoh. Keenam, menghasilkan ketaatan dalam kesendirian dan terlepas dari
perbuatan tercela dan larangan Allah Swt.
Selama
berkhalwat, salik harus berusaha membebaskan diri dari seluruh gangguan
indrawi, gangguan batin dan mendisplinkan aspek-aspek hewani dalam
dirinya sehingga ia tidak mengikuti kecendrungan kepada berbagai aspek
tersebut. Dalam khalwah dan ‘uzlah, seorang salik harus
menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah.
Salah satu yang menjadi andalan seorang salik adalah zikir. Menurut ‘Umar
Suhrawardi, seorang salik mengamalkan berbagai bentuk wirid yang terus
menerus diulang oleh semua sufi, antara lain la ilaha illallah, ya Allah,
ya Hu, ya Haqq, ya Hayy, ya Qayyum, dan ya Qahhar. Selain
itu, seorang salik yang sedang berkhalwat harus dalam keadaan berwudhu,
berpuasa, sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara, menafikan berbagai
pikiran, dan terus beramal ibadah dengan menjalankan ibadah salat (wajib dan
sunnah) dan zikir. Kebanyakan sufi mengadakan khalwah selama empat puluh
hari, meskipun banyak sufi terus menerus melakukan khalwah dalam waktu
bertahun-tahun.
Mengenai mujahadah,
teori ini antara lain didasari oleh Q.S. al-‘Ankabut/29:69. Hasaan
al-Qazaz, mengatakan bahwa “mujahadah dibangun atas tiga hal: tidak
makan bila sangat butuh, tidak tidur kecuali mengantuk, dan tidak bicara
kecuali terdesak.” Riyadhah dimaknai juga sebagai pembiasaan jiwa
manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkannya menuju
kesempurnaan yang dapat dicapainya. Tujuan riyadhah adalah menghilangkan
semua hambatan yang merintangi jalan menuju Allah terutama kesenangan
lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepada akal praktis yang mendorong
jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar selalu siap untuk
menerima pancaran Allah Swt.
Para salik,
tidak bisa tidak, harus mengamalkan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah
dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruh tingkatan al-maqamat
dan dianugerahi al-ahwal.
- Hierarki
al-Maqamat
Para sufi
telah merumuskan susunan al-maqamat dan al-ahwal secara berbeda,
sebagai dampak dari perbedaan pengalaman spiritual mereka, bahkan sebagian sufi
menerangkannya secara simbolis melalui novel-novel mistis yang sebenarnya
menjelaskan perjalanan spiritual seorang salik menuju Allah Swt. Sekadar
contoh mengenai al-maqamat, dari tingkat paling awal yang harus dilewati
seorang salik sampai tingkat tertinggi yang mungkin dicapainya, al-Thusi
(w.988M) menyebutkan bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari
tobat, warak, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan, dan menurut Abu
al-Najib al-Suhrawardi (w.1168) adalah al-intibah, al-taubah, al-inabah,
al-wara’, muhasabah al-nafs, ridha, al-ikhlash, dan al-tawakkul.
Al-Kalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah diawali dari
tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakkal, kerelaan, cinta dan
makrifat. Al-Qusyairi (w.1073 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat
adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, tawakal, sabar, dan kerelaan.
Al-Ghazali (w. 1111 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah
diawali dari tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, dan kerelaan.
Kaum sufi
sepakat bahwa perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Allah Swt. Harus diawali
dari tingkatan tobat sampai tingkat rida sebagai tingkatan spiritual tertinggi.
- Kesimpulan
Kesimpulan
dari seluruhnya adalah maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan spiritual
seorang sufi, mulai dari tingkatan paling mendasar hingga tingkatan tertinggi,
yaitu dekat dengan Allah Swt., yang diperoleh seorang salik secara
mandiri yaitu melalui ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara
terus menerus. Sebagai catatan, salik ialah seseorang yang menjalani
disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme islam untuk membersihkan dan
memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. Al-ahwal
merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari
usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt.
Pondasi
untuk bisa mencapai al-maqamat dan al-ahwal ialah dengan khalwah
dan ‘uzlah yaitu dengan menyepi dan mengasingkan diri. Dengan begitu
seorang salik dapat dengan mudah tersambung dengan Allah Swt. Hierarki
pada al-maqamat mulai dari yang pertama ialah tobat dan yang terakhir
ialah ridha, para sufi sepakat akan hal itu. Harus diketahui bahwa para sufi
tidak memiliki rumusan yang sama mengenai al-maqamat, dan perbedaan
tersebut lebih didasari oleh perbedaan pengalaman spiritual masing-masing.
BUKU
2
: TASAWUF STUDIES : Pengantar Belajar Tasawuf (Buku Pembanding)
Identitas Buku
: Dr. H, Syamsun Ni’am, M. Ag. (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2014)
Sub 1 : Perspektif Maqamat dan Ahwal
Sub 2 :
Macam-Macam Maqamat
Kesimpulan
- Perspektif
Maqamat dan Ahwal
Menurut
Syamsun Ni’am (137:2014), maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam
yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Sementara menurut istilah ilmu
tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang
diperoleh melalui peribadatan, mujahadat, dan lain-lain. Latihan spiritual
serta (berhubungan) yang tidak ada putus-putusnya dengan Allah Swt. Atau secara
teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi
untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di
hadapan Allah Swt.
Sementara ahwal
adalah bentuk jamak dari kata hal , yang secara bahasa berarti kondisi,
keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal
berarti persaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati yang disebabkan karena
bersihnya dzikir.
Bagi
seorang penempuh tasawuf awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
taubat. Kedua ialah zuhud, ketiga wara’, keempat faqr, kelima sabar, keenam
tawakkal, dan ketujuh ridha.
Itu semua
hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Untuk memasuki pintu tasawuf, atau
sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau
mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai
ilahiah (tahalli), dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi ilahi dalam
kehidupan dunia ini. Maka dari itu jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai
ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhir nya bersatu dengan Tuhan
sangatlah panjang dan penuh duri.
- Macam-Macam
Maqamat
Pada
mulanya seorang calon sufi harus taubat dari dosa-dosa besar yang
dilakukannya. Taubat yang dimaksud adalah taubat an-nasuha, yaitu
taubat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan
betul-betul tidak berbuat dosa lagi walaupun sekecil apapun. Untuk memantapkan taubatnya
ia pindah ke station kedua, yaitu zuhud. Di station ini ia
menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
Sampailah
ia ke station wara’. Di station ini ia dijauhkan Tuhan dari
perbuatan-perbuatan syubhat. Dari station wara’, ia pindah
ke station faqr. Di station ini ia menjalani hidup kefakiran.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke station sabar. Ia sabar
dalam segala hal, bukan hanya dengan larangan tuhan tapi dengan
cobaan-cobaannya. Ia sabar menderita.
Selanjutnya,
ia pindah ke station tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya
kepada kehendak Tuhan. Dari station tawakkal, ia meningkat ke station
ridha. Dari station ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan
bahkan ia menerima dengan senang hati.
Tahapan-tahapan
itu disebut dengan maqamat (station). Bagi seorang salik, jalan
yang dimaksudkan itu sangat sulit dan untuk pindah dari satu station ke station
lain itu memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.
- Kesimpulan
Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa antara maqamat (tahapan-tahapan tasawuf) dengan ahwal
(kondisi psikis dalam tasawuf), memiliki perbedaan segnifikan. Jika maqamat
adalah tahapan yang mesti dilalui oleh seorang salik (pelaku tasawuf)
berdasarkan pada tingkat pengalaman spiritual yang dijalaninya sehingga jumlah maqamat
di kalangan sufi tidaklah selalu sama, maka ahwal adalah efek
konsekuensi psikis, sebagai akibat dari perjalanan spiritual yang dilakoninya. Maqamat
yang di lakukan harus sesuai dengan urutan yang ditentukan oleh si salik
sedangkan ahwal merupakan efek dari perjalanan maqamat tersebut,
dan pemberian langsung dari Allah Swt sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena
itu, sifat ahwal itu mudah datang, pergi, dan temporer.
.
DAFTAR PUSTAKA
Ja’far, (Medan: Perdana
Publishing, 2016)
Syamsun
Ni’am (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar